Kamis, 14 Maret 2013

Askep Apendicitis


   ASUHAN KEPEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA APENDICITIS
A.    Konsep Dasar Medik
a.      Defenisi
Apendiksitis adalah peradangan pada apendiks dimana semua lapisan dinding organ tersebut terkena (standar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, 1995).
Apendiksitis adalah peradangan pada apendiks yang merupakan saluran buntu yang terletak dibawah sekum (Medikal Surgical Nursing hal 1150, 2000).
Apendiksitis perforasi adalah peradangan akut yang disertai ruptur, pada peradangan ini terjadi pembentukan abses yang merupakan komplikasi krisis usus buntu yang pecah
“Appendicitis merupakan peradangan pada appendic permiformis”. Appendic periformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang  2 - 6 inci. Lokasi Appendics pada daerah illiaka kanan, di bawah katup iliacecal, tepatnya pada dinding abdomen di bawah titik Mc Burney. Penyakit ini merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering dan dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun.Yang Apabila pecah akan menyebabkan apendisitis perforasi.

b.      Klasifikasi
Appendicitis dibagi atas 2 yaitu:
  1. Appendicitis akut
·         Appendicitis akut focalis atau segmentalis
Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh anggota appendiks 1/3 distal berisi nanah. Untuk diagnosis yang penting ialah ditemukannya nanah dalam lumen bagian itu. Kalau radangnya menjalar maka dapat terjadi appendiks purulenta.
·         Appendicitis akut purulenta (suppurativa) diffusa
Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya lebih mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut appendicitis gangrenosa atau pheegmonosa. Pada appendicitis gangrenosa dapat terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan akibat peritonitis.
2.      Appendicitis kronik
·         Appendicitis kronik focalis
Secara mikroskopi tampak fibrosis setempat yang melingkar sehingga dapat menyebabkan stenosis.
·         Appendicitis kronik obliterativa
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendik pada jaringan submukosa dan subserosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya lumen), terutama di bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir pada bagian itu.
c.       Anatomi fisiologi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung yang buntu, panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15 cm) atau berukuran sekitar jari kelingking dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Tonjolan appendiks pada neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari apeks sekum sepanjang 4,5 cm. Pada masa kanak-kanak, batas appendiks dari sekum semakin jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa panjang appendiks rata-rata 9-10 cm, terletak posteriomedial sekum kira-kira 3 cm inferior dari valvula ileosekalis. Posisi appendiks bisa retrosekal, retroileal, subileal atau di pelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak sama. Pada posisi normalnya appendiks terletak pada dinding abdomen, di bawah titik Mc. Burney, dicari dengan menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilikalis, titik tengah garis itu merupakan pangkal appendiks.
Fungsi appendiks tidak diketahui, kadang-kadang appendik disebut “tonsil abdomen” karena ditemukan banyak jaringan limfoid sejak intra uterin akhir kehamilan dan mencapai puncaknya pada kira-kira umur 15 tahun, yang kemudian mengalami atrofi serta praktis menghilang pada usia 60 tahun. Dengan berkurangnya jaringan limfoid, terjadi fibrosis dan pada kebanyakan kasus timbul konstriksi lumen atau obliterasi. Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir ini secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Diperkirakan appendiks mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik, yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Ig A Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Appendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin, dan musin.
d.      Etiologi
Predisposisi :
1.    Hiperplasia folikel limfoid.
2.    Fecolith dalam lumen apendiks
3.    Infeksi yang disebabkan oleh kuman E. Coli (80%) dan selebihnya streptococcus dan jarang-jarang kuman lain.
Presipitasinya :
1.    Benda asing
2.    Tumor
3.    Cacing
4.    Parasit lain
5.    Stenosis
6.    Perlekatan
e.       Patofisiologi
Keadaan yang merupakan apendiksitis adalah obstruksi, disebabkan oleh fecolith (feaces yang mengeras), benda asing, tumor apendiks, cacing, stenosis, perlekatan, hiperplasia folikel limfoid. Obstruksi ini menghambatkan pembengkakan jaringan limfoid. Oleh karena itu sekresi mukus yang di hasilkan terus menerus tidak dapat keluar, sehingga menimbulkan peregangan apendiks. Hal ini akan meningkatkan tekanan intraluminal, bila tekanannya melebihi tekanan vena mengakibatkan apendiks mengalami hipoksia dan selanjutnya terjadi ulcerasi serta invasi. Disamping itu tekanan terhadap pembuluh itu akan mengakibatkan edema dinding apendik sehingga resistensi selaput lendir berkurang dan mudah diserang kuman. Hal ini diperkuat oleh adanya bakteri di dalam usus seperti E. Coli (80%) dan selebihnya terutama streptococcus, yang akan mempercepat terjadi infeksi dan pembengkakan bertambah.
Peradangan ini dapat terjadi sebagian atau seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Jika radangnya mengeras dapat terjadi nekrosis dan pembusukan, disebut apendiksitis gangrenosa atau phlegmososa. Pada apendiksitis gangrenosa/phlegmonosa dapat terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan akibat peritonitis yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung kemudian peritonitis dapat menjadi kematian. Apendiksitis akut ini juga sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonium lokal. Gejala klasik apendiksitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viceral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah, umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa nyeri akan berpindah kekanan bawah ketiak MC. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik tempat. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk masa periapendixkuler. Yang secara salah, dikenal dengan istilah infiltart apendiks didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Apendiks yang pernah meradang tidak akan pernah sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan disekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. 
f.       Manifestasi klinis
Nyeri di periumbilikalis atau didaerah abdomen kuadran kanan bawah , regio 9
1.      Anoreksia
2.      Nausea
3.      Muntah
4.      Demam derajat rendah
5.      Abses (nanah)
6.      Konstipasi
7.      Diare
8.      Nyeri bila berjalan, batuk
9.      Kaki kanan pasien cenderung fleksi
10.  Nyeri tekan Mc Buney
g.      Pemeriksaan diagnostik.
1.    Hematologi: leukositosis di atas 10.000 /ul, peningkatan neutrofil sampai 75%.normalnya
2.    Urinalisis normal :  tetapi ada kemungkinan eritrosit/leukosit Å
3.    Foto abdomen:  gambaran fekalit, jika perforasi terjadi, gambaran udara, bebas dapat dilihat dari hasil foto, dapat menyatakan adanya pengerasan matrerial pada apendiks (fecolith),adanya peradangan pada daerah yang terinfeksi (apendiks)
4.    CT scan abdomen: dapat menunjukkan terjadinya abses appendikal atau appendicitis akut.
5.    USG: ditemukan gambaran appendicitis.
6.    Urinalisis: normal, tetap leukosit dan eritrosit mungkin ada dalam jumlah sedikit.
h.      Penatalaksanaan
1.      Pre-operasi
·      Bedrest: untuk observasi dalam 8-12 jam setelah keluhan.
·      Puasa: cairan parenteral jika pembedahan langsung dilakukan
·      Therapi farmakologik: narkotik dihindari karena dapat menghilangkan tanda dan gejala.
·      Antibiotik: untuk menanggulangi infeksi.
·      Transqualizer: untuk sedasi.
·      NGT: untuk mengeluarkan cairan lambung jika diperlukan.
Catatan: enema dan laxantia tidak boleh diberikan karena dapat meningkatkan peristaltik usus dan menyebabkan perforasi.
·      Pembedahan: Appendictomie: secepatnya dilakukan bila didiagnosanya tepat dan tentunya cara dan reaksi sistemik harus diperhatikan.


2.      Post-operasi
·      Observasi TTV à terjadinya perdarahan, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.
·      Pasien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.
·      Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring dan hari berikutnya lunak.
·      Aktivitas: satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
·      Antibiotik dan analgesik setelah post op diberikan.
·      Jahitan diangkat hari ke tujuh.
i.          Komplikasi
1.         Perforasi
Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama tetapi meningkat sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui pre operatif dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5oC tampak toksik, nyeri tekan di seluruh perut dan leukositosis akibat perforasi dan pembentukan abses.
2.      Peritonitis
Merupakan peradangan peritoneum yang berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen misalnya appendicitis. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup di dalam kolon yaitu pada kasus ruptura appendiks. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
3.      Obstruksi usus
Dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut atau kronik, parsial atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai akibat dari karsinoma. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup.

B.     KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
  1. Pengkajian
a.       Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
·         Pengetahuan tentang penyebab dan proses penyakit.
·         Riwayat operasi, riwayat sakit berat: obstruksi tumor.
·         Kebiasaan makan rendah serat, makan pedas, makanan yang sulit dicerna (biji-bijian).

b.      Pola nutrisi metabolik
·         Mual
·         Muntah
·         Anoreksia
·         Demam
c.       Pola eliminasi
·         Konstipasi/diare
·         Penurunan bising usus
·         Perut kembung/tidak ada flatus
d.      Pola aktivitas dan latihan
·         Malaise
·         Takikardi, takipnea
·         Imobilisasi
e.       Pola tidur dan istirahat
·         Kebiasaan tidur (berapa lama)
·         Gangguan tidur karena ketidaknyamanan: nyeri
f.       Pola persepsi dan kognitif
·         Keluhan nyeri pada titik Mc. Burney, nyeri tekan pada titik Mc. Burney, nyeri daerah luka operasi
g.      Pola persepsi dan konsep diri
·         Cemas akan tindakan appendiktomi
·         Gangguan harga diri
h.      Pola koping terhadap stres
·         Persepsi penerimaan sakit
·         Takut/cemas akan tindakan dan perawatan
2.      Diagnosa Keperawatan
a.       Pre Operasi
·         Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya sistem pertahanan tubuh sebagai akibat dari proses inflamasi/peradangan.
·         Nyeri abdomen berhubungan dengan proses peradangan pada appendik.
·         Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipermetabolik (demam, muntah).
·         Ketidakefektifan manajemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit, dan pengobatan.
b.      Post Operasi
·         Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
·         Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi (puasa), intake kurang.
·         Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan.
3.      Rencana Keperawatan
a.       Pre Operasi
Diagnosa 1.   Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya sistem pertahanan tubuh sebagai akibat dari proses inflamasi/peradangan.
Tujuan:  Tidak terjadi infeksi ditandai dengan suhu dalam batas normal 36-37oC, integritas kulit utuh, leukosit < 10.000 u/L.
Intervensi:
·         Monitor TTV terutama suhu tiap 4 jam.
Rasional:  Suhu meningkat menandakan adanya infeksi.
·         Kaji tanda-tanda peritonitis dan laporkan segera bila perlu.
Rasional:  Mengetahui adanya komplikasi seperti peritonitis.
·         Hindari pemberian huknah/enema sebelum operasi.
Rasional:  Penggunaan enema/pemberian huknah dapat meningkatkan peristaltik usus dan meningkatkan risiko perforasi.
·         Berikan diit lunak dan bila perlu beri infus.
Rasional:  Peningkatan nutrisi dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh.
·         Kolaborasi dengan medik pemberian antibiotik.
Rasional:  Mencegah infeksi lebih luas.

Diagnosa 2.   Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks.
Tujuan:  Nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.
Intervensi:
·         Kaji dan catat intensitas, lokasi dan lama nyeri.
Rasional:  Mengetahui tingkat rasa nyeri, berguna dalam pengawasan keefektifan obat.
·         Kaji tanda nyeri baik verbal maupun non verbal.
Rasional:  Bermanfaat mengevaluasi nyeri.
·         Ajarkan teknik relaksasi seperti: imajinasi, musik yang lembut.
Rasional:  Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman.
·         Ajarkan teknik nafas dalam dan batuk efektif.
Rasional:  Nyeri dapat meningkatkan ketegangan otot, nafas dalam dan batuk efektif dapat membantu mengurangi ketegangan otot abdomen.
·         Berikan posisi yang nyaman.
Rasional:  Posisi dapat membantu mengurangi nyeri.
·         Kolaborasi dengan medik pemberian analgetik.
Rasional:  Terapi analgetik dapat mengurangi nyeri.

Diagnosa 3.   Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipermetabolik (demam, muntah).
Tujuan:  Tidak terjadi kekurangan volume cairan, ditandai dengan: membran mukosa lembab, turgor kulit elastis, tanda-tanda vital dalam batas-batas normal, keseimbangan intake output.
Intervensi:
·         Pantau tanda-tanda vital, catat adanya hipotensi dan takikardi.
Rasional:  Mengevaluasi keefektifan terapi cairan dan respon pada pengobatan.
·         Observasi membran mukosa, turgor kulit.
Rasional:  Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi.
·         Pantau dan catat cairan yang keluar dan masuk.
Rasional:  Mengetahui keseimbangan cairan dan jumlah yang diperlukan.
·         Anjurkan pasien untuk minum air hangat.
Rasional:  Air hangat dapat mengurangi mual dan muntah. Peradangan dapat meningkatkan proses metabolik sehingga diperlukan cairan yang banyak untuk menurunkan demam.
·         Kolaborasi dengan medik untuk pemberian cairan parenteral.
Rasional:  Menjaga keseimbangan sirkulasi cairan elektrolit.

Diagnosa 4.   Ketidakefektifan manajemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses penyakit, dan pengobatan.
Tujuan:  Pasien dapat memahami proses penyakit dan pengobatan dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi:
·         Kaji kemampuan dan pengetahuan pasien tentang proses penyakit dan pengobatan.
Rasional:  Membantu memberikan penjelasan yang tepat dan sesuai kebutuhan.
·         Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur persiapan operasi seperti: waktu pembedahan, lingkungan kamar operasi.
Rasional:  Pasien akan lebih mudah mengingat dan lebih kooperatif.
·         Ajarkan pasien untuk melatih nafas dalam dan latihan otot.
Rasional:  Meningkatkan pengajaran dan aktivitas pasca operasi.

b.    Post Operasi
Diagnosa 1.   Nyeri berhubungan dengan insisi bedah.
Tujuan: Nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.
Intervensi:
·         Kaji nyeri, intensitas, lokasi dan lamanya.
Rasional:  Berguna dalam pengawasan keefektifan pengobatan.
·         Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional:  Gravitasi melokalisasi eksudat ke dalam abdomen bawah untuk mengurangi ketegangan abdomen yang bertambah jika posisi terlentang.
·         Dorong ambulasi dini.
Rasional:  Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh: merangsang peristaltik dan kelancaran flatus.
·         Kaji ketidaknyamanan yang disebabkan post prosedur operasi.
Rasional:  Ketidaknyamanan mungkin oleh insisi akibat operasi.
·         Dorong penggunaan teknik relaksasi.
Rasional:  Melepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan perasaan kontrol.
·         Kolaborasi dengan medik untuk mempertahankan puasa.
Rasional:  Menurunkan ketidaknyamanan pasien pada peristaltik usus dini dan irigasi gaster.
·         Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.
Rasional:  Menghilangkan rasa nyeri.

Diagnosa 2.   Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi (puasa), intake kurang).
Tujuan: Tidak terjadi kekurangan volume cairan yang ditandai dengan: tanda-tanda vital dalam batas normal, turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, intake dan output seimbang.
Intervensi:
·         Observasi tanda-tanda vital (TD, N, HR, S, P).
Rasional:  Hipotensi, takikardi, peningkatan pernafasan, mengidentifikasikan kekurangan volume cairan.
·         Pantau intake dan output cairan, dan catat warna urine.
Rasional:  Penurunan output urine atau konsentrasi urine pekat mengidentifikasikan dehidrasi membutuhkan peningkatan cairan.
·         Catat mual dan muntah.
Rasional:  Mual yang terjadi selama 12-24 jam pasca operasi umumnya karena efek anastesi.
·         Observasi membran mukosa, turgor kulit, suhu kulit dan palpasi perifer, capillary refill time.
Rasional:  Kulit dingin/lembab, denyut perifer lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer.
·         Kolaborasi dengan medik untuk pemberian cairan parenteral.
Rasional:  Cairan parenteral dapat membantu kebutuhan cairan yang dibutuhkan tubuh.

Diagnosa 3.   Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan.
Tujuan: Luka jahitan bersih, tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi:
·         Kaji daerah sekitar luka, apakah ada pus, atau jahitan basah.
Rasional:  Deteksi awal jika terjadi gangguan dalam proses penyembuhan.
·         Jaga luka jahitan tetap kering dan bersih.
Rasional:  Mengurangi resiko infeksi.
·         Gunakan teknik aseptik saat merawat luka/jahitan.
Rasional:  Mencegah cross infeksi dan mencegah transmisi infeksi bakterial pada luka jahitan.
·         Perhatikan intake nutrisi klien.
Rasional:  Penting untuk mempercepat penyembuhan luka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar