A.
Konsep
Dasar
1.
Definisi
Thypus Abdominalis adalah suatu penyakit infeksi pada usus halus dengan
gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. (Rampengan,1990)
2.
Anatomi
Fisiologi
Susunan saluran pencernaan
terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan),
ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus besar ), rektum dan
anus. Pada kasus demam tifoid,
salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum minor). Intestinum
minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus
dan berakhir pada seikum, panjangnya ± 6
cm, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi
hasil pencernaan yang terdiri dari
: lapisan usus halus, lapisan
mukosa (sebelah dalam), lapisan otot
melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus longitudinal) dan
lapisan serosa (sebelah luar).
Usus halus terdiri dari
duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum.
Duodenum disebut juga usus dua belas jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini
terdapat pankreas. Dari bagian kanan
duodenum ini terdapat selapu t lendir yang membukit yang disebut papila
vateri. Pada papila vateri ini bermuara
saluran empedu (duktus koledikus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus
pankreatikus). Dinding duodenum ini
mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut
kelenjar brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
Yeyenum dan ileum mempunyai
panjang sekitar ± 6
meter. Dua perlima bagian atas adalah
yeyenum dengan panjang ± 23 meter dari ileum dengan panjang 4 – 5
m. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan
perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium.
Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya
cabang-cabang arteri dan vena mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke
ruang antara 2 lapisan peritonium yang membentuk mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak
mempunyai batas yang tegas.
Ujung dibawah ileum berhubungan dengan seikum
dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoseikalis. Orifisium ini diperlukan oleh spinter
ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula
baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam asendens tidak masuk kembali
ke dalam ileum.
Mukosa usus halus. Permukaan epitel
yang sangata luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan pencernaan
dan absorbsi. Lipatan ini dibentuk oleh
mukosa dan sub mukosa yang dapat memperbesar permukaan usus. Pada penampang melintang vili dilapisi oleh
epitel dan kripta yag menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan dan enzim
yang memegang peranan aktif dalam pencernaan.
Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak
leukosit. Disana-sini terdapat beberapa
nodula jaringan limfe, yang disebut
kelenjar soliter. Di dalam ilium
terdapat kelompok-kelompok nodula itu.
Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis 20 sampai 30
kelenjar soliter yang panjangnya satu
sentimeter sampai beberapa
sentimeter. Kelenjar-kelenjar ini
mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada demam usus
(tifoid). Sel-sel Peyer’s adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam
membran mukosa. Sel tersebut lebih umum
terdapat pada ileum daripada yeyenum. (
Evelyn C. Pearce, 2000)
Absorbsi. Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung
dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan
saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisis lakteal, pembuluh darah
epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama jaringan limfoid seluruhnya
diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair
dan lemak yang di absorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh
limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa
ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus
a.
Menerima
zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah
dan saluran – saluran limfe.
b.
Menyerap
protein dalam bentuk asam amino.
c.
Karbohidrat
diserap dalam betuk monosakarida.
Didalam usus halus terdapat kelenjar yang
menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan.
a.
Enterokinase,
mengaktifkan enzim proteolitik.
b.
Eripsin
menyempurnakan pencernaan protein
menjadi asam amino.
1.
Laktase
mengubah laktase menjadi monosakarida.
2.
Maltosa
mengubah maltosa menjadi monosakarida
3.
Sukrosa
mengubah sukrosa menjadi monosakarida
3.
Patofisiologi
Kuman
Salmonella Typi masuk tubuh manusia
melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung.
Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri
di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi.
Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat
terjadi. Kuman Salmonella Typi kemudian
menembud ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi.
Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella typi masuk ke
aliran darah melalui duktus thoracicus.
Kuman salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari
usus. Salmonella typi bersarang di
plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem
retikuloendotelial. Semula disangka
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian
ekperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin salmonella typi berperan pada
patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal
pada jaringan tempat salmonella typi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena
salmonella typi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat
pirogen oleh zat leukosit pada jaringan yang meradang.
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14
hari. Gejala-gejala yang timbul amat
bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja
antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke
waktu. Selain itu gambaran penyakit
bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian hal ini menyebabkan bahwa
seorang ahli yang sudah sangat berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan
membuat diagnosis klinis demam tifoid.
Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya , yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu
badan meningkat . dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif, lidah yang
khas (kotor di tengah, tepi daan ujung merah dan tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium atau psikosis, roseolae jarang
ditemukan pada orang Indonesia.
4.
Dampak
Masalah
a.
Pada
pasien
1)
Pola
persepsi dan metabolisme
Nafsu makan klien meurun yang disertai dengan mual dan muntah.
2)
Pola
eliminasi
Klien tyfoid biasanya mengalami
konstipasi bahkan diare.
3)
Pola
aktivitas dan latihan
Klien demam tyfoid haruslah tirah baring total untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang berakibat aktivitas klien
terganggu. Semua keperluan klien
dibantu dengan tujuan mengurangi kegiatan atau aktivitas klien. Tirah baring totalnya yang dapat menyebabkan
terjadinya dekubitus dan kontraktur sendi.
4)
Pola
tidur dan istirahat
Terganngu karena klien biasanya gelisah akibat peningkatan suhu tubuh. Selain itu juga klien belum terbiasa dirawat
di rumah sakit.
5)
Pola
penanggulangan stress
Pada pola ini terjadi gangguan dalam menyelesaikan permasalahan dari dalam
diri klien sehubungan penyakit yang dideritanya.
b.
Pada
keluarga
1)
Adanya
beban mental sebagai akiabt dari salah satu anggota keluarganya dirawat di
rumah sakit karena sakit yang di deritanya sehingga menimbulkan kecemasan.
2)
Biaya
merupakan masalah yang dapat menimbulkan
beban keluarga. Bila perawatan yang
diperlukan memerlukan perawatan yang konservatif yang lama di rumah sakit, akan
memerlukan biaya yang cukup banyak, sehingga dapat menimbulkan beban keluarga.
3)
Akibat
klien di rawat di rumah sakit maka akan menambah kesibukan keluarga yang harus
menunggu anggota keluarga yang sakit.
B.
Asuhan
Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam
merencanakan pelayanan asuhan keperawatan yang mempunyai empat tahapan yaitu
pengkajian, perencanaan, palaksanaan dan evaluasi.
Proses keperawatan ini merupakan suatu proses pemecahan masalah yang
sistimatik dalam memberikan pelayanan keperawatan serta dapat menghasilkan
rencana keperawatan yang menerangkan kebutuhan setiap klien seperti yang tersebut diatas yaitu melalui empat tahapan
keperawatan. (Proses keperawatan : 9 &
12)
1.
Pengkajian
a.
Pengumpulan
data
1)
Identitas
klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa
medik.
2)
Keluhan
utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun,
nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan
kesadaran.
3)
Riwayat
penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman
salmonella typhi ke dalam tubuh.
4)
Riwayat
penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5)
Riwayat
penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
6)
Riwayat
psikososial dan spiritual
Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme
yang digunakan. Gangguan dalam beribadat
karena klien tirah baring total dan lemah.
7)
Pola-pola
fungsi kesehatan
a)
Pola
nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena
mual dan muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak
makan sama sekali.
b)
Pola
eliminasi
Eliminasi alvi.
Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami
gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus,
sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
c)
Pola
aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah
baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan klien
dibantu.
d)
Pola
tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan
peningkatan suhu tubuh.
e)
Pola
persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan
penyakitnya dan ketakutan merupakan dampak psikologi klien.
f)
Pola
sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran
dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu
waham pad klien.
g)
Pola
hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan
klien di rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.
h)
Pola
reproduksi dan seksual
Gangguan
pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena harus dirawat di
rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak mengalami gangguan.
i)
Pola
penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih
karena keadaan sakitnya.
j)
Pola
tatanilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena
bedrest total dan tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang
dideritanya saat ini.
8)
Pemeriksaan
fisik
a)
Keadaan
umum
Didapatkan klien tampak
lemah, suhu tubuh
meningkat 38 – 410
C, muka kemerahan.
b)
Tingkat
kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
c)
Sistem
respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran
seperti bronchitis.
d)
Sistem
kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
e)
Sistem
integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
f)
Sistem
gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,
muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,
peristaltik usus meningkat.
g)
Sistem
muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
h)
Sistem
abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak
serta nyeri tekan pada abdomen. Pada
perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus
meningkat.
9)
Pemeriksaan
penunjang
a)
Pemeriksaan
darah tepi
Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi
gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran sel
darah merah dalam peredaran darah.
Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000 – 4000 /mm3
ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh
endotoksin. Aneosinofilia yaitu
hilangnya eosinofil dari darah tepi.
Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada minggu
pertama. Limfositosis umumnya jumlah
limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat.
b)
Pemeriksaan
urine
Didaparkan proteinuria ringan ( < 2 gr/liter) juga didapatkan
peningkatan lekosit dalam urine.
c)
Pemeriksaan
tinja
Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus
dan perforasi.
d)
Pemeriksaan
bakteriologis
Diagnosa pasti ditegakkan apabila
ditemukan kuman salmonella dan biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau
sumsum tulang.
e)
Pemeriksaan
serologis
Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman
salmonella adalah antobodi O dan H.
Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama
atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif (lebih dari 4
kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2
minggu kemudian menunjukkan diagnosa
positif dari infeksi Salmonella typhi.
f)
Pemeriksaan
radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat
demam tifoid.
b.
Analisa
data
Data yang sudah terkumpul dikelompokkan dan dianalisis untuk menentukan
masalah klien. Untuk mengelompokkan data
ini dilihat dari jenis data yang meliputi
data subyek dan dan data obyek.
Data subyek adalah data yang diambil dari ungkapan klien atau keluarga
klien sedangkan data obyek adalah data yang didapat dari suatu pengamatan atau
pendapat yang digunakan untuk menentukan diagnosis keperawatan. Data tersebut juga bisa diperoleh dari
keadaan klien yang tidak sesuai dengan standart kriteria yang sudah ada. Untuk perawat harus jeli dan memahami tentang
standart keperawatan sebagai bahan
perbandingan apakah keadaan kesehatan klien sesuai tidak dengan standart yang
sudah ada. (Lismidar, 1990)
c.
Diagnosa
keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah
kesehatan klien yang dapat diatasi dengan tindakan keperawatan. Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan
analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian data. Demam menggambarkan tentang masalah kesehatan
yang nyata atau potensial dan pemecahannya membutuhkan tindakan keperawatan
sebagai masalah klien yang dapat ditanggulangi.
(Lismidar, 1990)
Dari analisa data yang diperoleh maka diagnosa keperawatan yang muncul pada
kasus demam tifoid dengan masalah peningkatan suhu tubuh adalah sebagai
berikut.
1)
Peningkatan
suhu tubuh sehubungan dengan proses infeksi kuman Salmonella typhi
2)
Gangguan
keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) sehubungan dengan pengeluaran
cairan yang berlebihan.
3)
Gangguan
rasa nyaman (kebutuhan tidur dan istirahat) sehubungan dengan peningkatan suhu
tubuh.
4)
Kecemasan
sehubungan dengan kurangnya pengetahuan
tentang penyakitnya.
5)
Potensial
terjadinya gangguan intregitas kulit sehubungan dengan peningkatan suhu tubuh.
6)
Potensial
terjadinya infeksi sehubungan dengan pemasangan infus.
2.
Perencanaan
Pada tahap perencanaan ini meliputi penentuan
prioritas diagnosa keperawatan, menetapkan tujuan dan kriteria hasil,
merumuskan rencana tindakan dan mengemukakan rasional dari rencana
tindakan. Setelah itu dilakukan
pendokumentasian diagnosa aktual atau potensial, kriteria hasil dan rencana
tindakan. ( Lismidar, 1990 : 34&44)
Rencana keperawatan yang digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan klien pada dasarnya sesuai dengan masalah
yang ditemukan pada klien dengan demam
tifoid dan hal ini sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ada. Perencanaan berisi suatu tujuan pelayanan
keperawatan dan rencana tindakan yang akan digunakan itu untuk mencapai tujuan,
kriteria hasil dan rasionalisai berdasarkan susunan diagnosa keperawatan
diatas, maka perencanaan yang dibuat
sebagai berikut :
a.
Diagnosa
keperawatan I
Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan proses infeksi
1) Tujuan : suhu tubuh turun sampai batas normal
2)
Kriteria
hasil :
a)
Suhu
tubuh dalam batas normal 36 – 37 0 C
b)
Klien
bebas demam
3)
Rencana
tindakan
a)
Bina
hubungan baik dengan klien dan keluarga
b)
Berikan
kompres dingin dan ajarkan cara untuk memakai es atau handuk pada tubu,
khususnya pada aksila atau lipatan paha.
c)
Peningkatan
kalori dan beri banyak minuman (cairan)
d)
Anjurkan
memakai baju tipis yang menyerap
keringat.
e)
Observasi
tanda-tanda vital terutama suhu dan denyut nadi
f)
Kolaborasi
dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan terutama anti piretik.
4)
Rasional
a)
Dengan
hubungan yang baik dapat meningkatkan kerjasama dengan klien sehingga pengobatan dan perawatan mudah
dilaksanakan.
b)
Pemberian
kompres dingin merangsang penurunan suhu tubuh.
c)
Air
merupakan pangatur suhu tubuh. Setiap
ada kenaikan suhu melebihi normal, kebutuhan metabolisme air juga meningkat
dari kebutuhan setiap ada kenaikan suhu tubuh.
d)
Baju
yang tipis akan mudah untuk menyerap keringat yang keluar.
e)
Observasi
tanda-tanda vital merupakan deteksi dini
untuk mengetahui komplikasi yang terjadi
sehingga cepat mengambil tindakan
f)
Pemberian
obat-obatan terutama antibiotik akan membunuh kuman Salmonella typhi sehingga
mempercepat proses penyembuhan sedangkan
antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh.
b.
Diagnosa
keperawatan II
Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) sehubungan dengan
pengeluaran cairan yang berlebihan.
1) Tujuan : kekurangan
2) Kriteria hasil :
a) Mukosa mulut dan bibir tetap basah, turgor
kulit normal.
b) Tanda-tanda vital ( suhu, nadi, tekanan
darah, pernafasan) dalam batas normal.
3) Rencana tindakan
a) Monitor intake atau output tiap 6 jam
b) Beri cairan (minum banyak 2 – 3 liter
perhari) dan elektrolit setiap hari.
c) Masukan cairan diregulasi pertama kali
karena adanya rasa haus.
d) Hindarkan sebagian besar gula alkohol, kafein.
e) Timbang berat badan secara efektif.
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian cairan secara intravena.
4) Rasional :
a) Pemenuhan cairan (input) dan koreksi
terhadap kekurangan cairan yang keluar serta deteksi dini terhadap keseimbangan
cairan.
b) Cairan yang terpenuhi dapat membantu
metabolisme dalam keseimbangan suhu tubuh.
c) Haluaran cairan di regulasi oleh kemampuan
ginjal untuk memekatkan urine.
d) Gula, alkohol dan kafein mengandung
diuretik meningkatkan produksi urine dan menyebabkan dehidrasi.
e) Kehilangan berat badan 2-5 % menunjukkan
dehidrasi ringan, 5-9 % menunjukkan dehidrasi sedang.
f) Sebagai perawat melakukan fungsinya
(independen) sebaik-baiknya.
c.
Diagnosa
keperawatan III
Gangguan rasa nyaman (kebutuhan istirahat dan tidur) sehubungan dengan
peningkatan suhu tubuh.
1) Tujuan : kebutuhan rasa nyaman (istirahat dan
tidur) terpenuhi
2) Kriteria hasil :
a) Klien dapat/mampu mengekspresikan
kemampuan untuk istirahat dan tidur.
b) Kebutuhan istirahat dan tidur tidak
terganggu.
3) Rencana tindakan
a) Pertahankan tempat tidur yang hangat dan
bersih dan nyaman.
b) Kebersihan diri (cuci mulut, gosok gig,
mandi sebagian)
c) Mengkaji rutinitas istirahat dan tidur klien sebelum dan sesudah masuk rumah sakit.
d) Kurangi atau hilangkan distraksi lingkungan
atau kebisingan.
e) Batasi pengunjung selama peroide istirahat
dan tidur.
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian terapi (antipiretik).
4) Rasional :
a) Tempat tidur yang nyaman dapat memberi
kenyamanan dalam masa istirahat klien.
b) Kebersihan diri juga dapat memberikan rasa
nyaman dan dapat membantu kenyamanan klien dalam istirahat dan tidur.
c) Dapat memantau gangguan pola tidur dan
istirahat yang dirasakan.
d) Lingkungan yang tidak tenang, bagi klien
akan cepat menambah beban atau penderitaannya.
e) Pengunjung yang banyak akan mengganggu
istirahat dan tidur klien.
f) Antipiretik dapat menurunkan suhu yang
tinggi sehingga kebutuhan istirahat dan
tidur klien terpenuhi atau gangguan yang selama ini dialami akan berkurang.
d.
Diagnosa
keperawatan IV
Cemas sehubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakitnya.
1) Tujuan : cemas berkurang atau hilang
2) Kriteria hasil :
a) Klien mengerti tentang penyakitnya,
kecemasan hilang atau berkurang.
b) Klien menerima akan keadaan penyakit yang
dideritanya.
3) Rencana tindakan
a) Beri penjelasan pada klien tentang
penyakitnya
b) Kaji tingkat kecemasan klien
c) Dampingi klien terutama saat-saat cemas.
d) Tempatkan pada ruangan yang tenang,
kurangi kontak dengan orang lain, klien lain dan keluarga yang menimbulkan cemas.
4) Rasional :
a) Klien mengerti dan merespon dari
penjelasan secara kooperatif.
b) Dapat memberi gambaran yang jelas apa yang
menjadi alternatif tindakan yang direncanakan.
c) Klien merasa diperhatikan dan dapat
menurunkan tingkat kecemasan.
d) Dengan ruangan yang tenang dapat
mengurangi kecemasannya
e.
Diagnosa
keperawatan V
Potensial terjadinya infeksi sehubungan dengan pemasangan infus.
1) Tujuan : tidak terjadi infeksi pada daerah
pemasangan infus.
2) Kriteria hasil :
a) Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
b) Infeksi tidak terjadi.
3) Rencana tindakan
a) Beri penjelasan pada klien dan keluarga
tentang tanda-tanda infeksi.
b) Mengganti atau merawat daerah pemasangan
infus.
c) Lakukan pemasangan infus secara steril dan
jangan lupa mencuci tangan sebelum dan
sesudah pemasangan.
d) Cabut infus bila terdapat pembengkakan
atau plebitis.
e) Observasi tanda-tanda vital dan tand-tanda
infeksi di daerah pemasangan infus.
4) Rasional :
a) Klien dapat mengetahui tanda-tanda infeksi
dn melaporkan segera bila terasa sakit di daerah pemasangan infus.
b) Mencegah terjadinya infeksi karena
pemasangan infus yang lama.
c) Dengan cara steril adalah tindakan
preventif terhadap kemungkinan terjadinya infeksi.
d) Mencegah atau menghindari kondisi yang
lebih buruk lagi akibat infeksi.
e) Dengan observasi yang dilakukan akan dapat
mengetahui secara dini gejala atau tanda-tanda infeksi dan keadaan umum klien.
f. Diagnosa keperawatan VI
Potensial terjadi gangguan integritas
kulit sehubungan dengan peningkatan suhu tubuh
1) Tujuan : tidak terjadi gangguan intregitas kulit.
2) Kriteria hasil :
a) Tidak terdapat tanda-tanda gangguan integritas
kulit (kemerahan, lecet).
b) Tidak terjadi luka lecet.
3) Rencana tindakan
a) Tingkatkan latihan rentang gerak dan
mengangkat berat badan jika mungkin.
b) Ubah posisi tubuh tiap 2 jam sekali.
c) Anjurkan menjaga kulit tetap bersih dan
kering.
d) Jaga suhu dan kelembaban lingkungan yang berlebihan.
4) Rasional :
a) Memperbaiki sirkulasi darah dan
mengurangi penekanan yang berlebihan .
b) Merubah posisi tidur dapat memperbaiki
sirkulasi darah dan mengurangi penekanan yang berlebihan di daerah yang
menonjol.
c) Menjaga kulit tetap bersih dan kering
dapat mengurangi masuknya penyakit yang menyebabkan infeksi.
d) Panas tubuh / demam dengan kelembaban
lingkungan yang baik akan turun sesuai keadaan lingkungannya serta dapat
mencegah terjadinya infeksi.
3.
Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan
untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
kepada perawat untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun tujuan dari pelaksanaan adalah membantu
klien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan meliputi peningkatan
kesehatan atau pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dari fasilitas yang
dimiliki.
Perencanaan
tindakan keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika klien mempunyai keinginan untuk
berpartisiasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatan. Selama perawatan atau pelaksanaan perawat
terus melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan perawatan yang paling
sesuai dengan kebutuhan klien. dan
meprioritaskannya. Semua tindakan
keperawatan dicatat ke dalam format yang telah ditetapkan institusi.
4.
Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir proses
keperewatan untuk melengkapi proses keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaan telah berhasil dicapai, melalui evaluasi memungkinkan perawatan
untuk memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap pengkajian, analisa
perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan , tetapi
evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Diagnosa juga perlu dievaluasi untuk
menentukan apakah realistik dapat dicapai dan efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar